Pidodowetan, Kec. Patebon


Sejarah Desa

SEJARAH DESA “PIDODOWETAN dan UJUNG KOROWELANG”

Sejarah Desa Pidodowetan berasal dengan nama asli desa tersebut adalah Desa Widodol yang berada di wilayah Ujung Korowelang. Pada tahun 1209 Masehi lahirlah seorang yang bernama Senthongdiradja bin Karta dari wilayah alas purwo. Kemudian setelah remaja diutus untuk bubak alas diwilayah pesisir utara pulau Jawa, tepatnya di wilayah Jawa Tengah , Kabupaten Kendal ( dari Tuguredjo, Kaliwungu, Kendal, Weleri sampai Plelen, Limpung Batang ). Diwilayah Ujung Korowelang beliau bubak alas yang pertama dan membangun rumah tinggal . Adapun rumah yang ditempati waktu itu adalah di dekat Kali Bodri ( sekarang adalah  masuk wilayah Desa Kaliayu Kecamatan Cepiring tepatnya disebelah Makam Desa Kaliayu ). Saat itulah mulai bubak alas dari Cepiring ke utara meluas ke arah timur sampai Kendal, Brangsong, Kaliwungu sampai Tugu perbatasan Semarang dan kearah barat Weleri sampai Gringsing, Plelen, limpung batang.

Pada Tahun 1319 M, Zaman itu adalah masa kekuasaan penjajahan Belanda sehingga dalam perluasan wilayah ujung Korowelang selalu berlawanan dengan Pemerintahan Belanda. Dan Eyang Senthongdiradja adalah seorang yang menentang Penjajah Belanda dan seorang perampok penjajah belanda, seorang begal dan pembunuh yang ditakuti bila ada tentara Penjajah memasuki wilayah kekuasaannya. Kemudian berkembangnya wilayah bubak alas dari Tuguredjo, Kaliwungu, Kendal, Cepiring, Korowelang, Weleri, Plelen, Limpung Batang. Dan setiap wilayah bubak wilayah beliau menugaskan masing-masing pengikutnya untuk menjaga wilayah perbatasanya masing-masing.

 Diwilayah Kaliayu diserahkan anaknya yang bernama Ali Mudro, Wilayah Cepiring diserahkan Nyai Piring, diwilayah Korowelangkulon diserahkan Ali Syahbanar dan diteruskan oleh Eyang Sentono. Diwilayah Plelen di jaga oleh Eyang Plelen, Pangeran Sambong dan sekarang yang diwilayah Gringsing, Limpung yang merupakan tempat peristirahatan Eyang Senthongdirodjo berbentuk Batu Ceper atau Batu Lempeng yang berada di Tengah Kali untuk tempat tidur dan sampai sekarang masih ada batu sebagaimana dimaksud  dekat dengan makam Mbah Demang.

Eyang Senthongdirodjo mempunyai Pusaka andalannya berupa Tombak yang bernama Tombak Korowelang yang dibuat oleh Empu Supo, Pusaka Kendali Rangah dan Genthong Kudus. Eyang Senthongdirodjo adalah seorang pembuat kendali rangah beserta pengikutnya dan dalam pembuatan kendali rangah tersebut dibuat dibawah pohon yang rindang didaerah Korowelangkulon sehingga banyak orang pesan kendalirangah disitu. Sehingga Kendali Rangah dan Pohon Kendal adalah hal yang sangat erat sekali hubungannya. Kendali Rangah adalah kendali kuda dan membuatnya di bawah pohon besar sehingga orang mengenal kendali rangah dan pohon rindang tempat membuat kendalirangah tersebut sehingga orang-orang lebih mengenal kalau pesan kendalirangah dengan ancer-ancer pohon rindang di ujung Korowelang dan sampai sekarang pohon tersebut dinamakan pohon Kendal karena orang tahu kalau pesan kendalirangah ya d lokasi pohon rindang tersebut . Itu adalah sekilas tentang Kendali Rangah dan Pohon Kendal. Sampai saat ini Pohon Kendal tersebut tinggal satu pohon yang sudah sangat tua dan kropos berlubang disebelah Makam Eyang Senthongdirodjo dan Eyang Siti Ba’ilah.

Eyang Senthongdirodjo dan Eyang Siti Bailah dibunuh dan dikeroyok oleh Tentara Belanda. Dibunuh dengan cara apapun tidak bisa maka akhirnya diracuni makananya oleh tentara Belanda sehingga keduanya mati di Tahun 1817 Masehi dan dimakamkan di Kuburan Kupu Tarung Korowelangkulon.

Pada saat itu seorang ulama besar dengan sebutan Waliyullah yaitu Wali / Sunan Kalijaga dan Sunan Kudus berkelana ke wilayah Ujung Korowelang yang merupakan sarang penjajah Belanda dan tempat berlabuhnya Kapal, perahu Belanda yang masuk di Pantai Ujung Korowelang. Bubak alas diwilayah Desa Pidodowetan diserahkan kepada Pangeran Joko Thole atau sebutan lain adalah Pangeran Wongsoredjo bin Bambang Lelono yang merupakan anak angkatnya Eyang Senthongdirodjo. Adapun rumah Pangeran Joko Thole adalah di ujung Korowelang yang sekarang adalah Desa Korowelangkulon sedangkan makamnya ada di Tengah Kali Bodri yang dulunya adalah wilayah Desa Widodol atau Desa Pidodowetan, Klangenan Tegal yang berbatasan dengan Desa Wonosari Tegal dan Korowelang Kulon dan Korowelang Wetan yang sekarang bernama Desa Kumpulrejo. Sedangkan petilasan Pangeran Joko Thole berada di sebelah Makam lama di Dusun Pidodo (berada ditengah kebun / sebelah selatan makam lama)

Dalam Alkisah ada seorang janda/rondho yang berjualan ikan di bawah pohon rindang dan janda tersebut dulunya miskin kemudian menjadi sangat kaya dan saat itu bertemu dengan Sunan Kalijaga dan Sunan Kudus. Janda tersebut meminta sabda dari wali supaya diberikan kekayaan yang berlimpah dan dituruti oleh waliyullah dimaksud. Namun Janda/Rondho penjual ikan tersebut masih kurang puas dengan kekayaannya. Maka disabdalah janda tersebut kalau mau dengan kekayaan yang berlimpah maka jualan di bawah pohon/dodol ning wit sampai akhirnya seorang janda tersebut  akhirnya meninggal dengan cara dadanya nempel di wit / pohon tersebut dan dinamakan Widodol dan sekarng terkenal dengan nama Pidodowetan. Dan Pohon tersebut diberinama Pohon Pidodo yang buahnya mirip dengan susu seorang perempuan. Waliyullah Sunan Kalijaga dan Sunan Kudus  akhirnya kalau ke Ujung Korowelang sering mampir ke Musholla yang dibangun di pinggir Kali Bodri—Kali Sampir untuk sholat yang sekarang menjadi Masjid Al Mustofa Desa Pidodowetan.

Setelah Pangeran Joko Thole beristri dan istrinya di bawa lari dan diperistri oleh Eyang Plelen dengan ajian pusaka Jaran Goyang maka Pangeran Wongsorejo alias Joko Thole marah dan minta petunjuk Eyang Senthongdirodjo bagaimana caranya bisa membunuh Eyang Plelen. Karena Eyang Plelen sangat ampuh dan kuat dan mempunyai kelemahan di Kaki ( telapak kaki ) Maka diberi petunjuk dengan cara membawa duri dan ditusukkan di telapak kakinya. Dan saat itu eyang plelen meloncat maka dengan sigap Pangeran Joko Thole menusukan duri ketelapak kaki Eyang Plelen dan mati. Dan sampai sekarang dijadikan nama Weleri.

Berkembangnya waktu dari tahun ketahun maka Joko Thole dan Eyang Senhong dirodjo kedatangan tamu seorang sayid dan minta ijin masuk wilayahnya dan akan mengembangkan agama Islam di Ujung Korowelang tepatnya di Desa Widodol yang sekarang adalah  Desa Pidodowetan. Beliau adalah Mbah Mustofa dan Mbah Ilyas. Maka Musholla yang kecil dan sering kebanjiran bila Kali Bodri meluap itu akhirnya diserahkan oleh Mbah Mustofa dan Mbah Ilyas untuk tempat mengaji, sholat dan mengembangkan syiar agama islam. Kemudian diadakan perjanjian antara Eyang Senthongdirodjo, Pangeran Joko Thole (Pangeran Wongsoredjo) dengan Mbah Mustofa dan diberikanlah Tanah, rumah , Mushola dan rumah untuk rumah tinggal. Dengan demikian akhirnya dilanjutkan oleh Mbah Mustofa. Beliau adalah ulama yang tegas dan pemberani dalam mengembangkan agama islam di Desa Pidodowetan dan menikah dengan sayid dari Pakistan yang tidak mempunyai seorang putra. Dan setelah itu Eyang Mustofa menikah lagi dengan dan mempunyai anak yang bernama Mbah Toyib dengan sebutan lain adalah Mbah Umar Basiran. Pada saat itu bila ada orang yang masuk wilayah Widodol tidak mau masuk agama islam maka langsung disembelih dipotong lehernya/dibunuh dan disampirke di Kali Bodri tepatnya dibelakang Musholla yang sekarang Masjid Al Mustofa. Sehingga dikenal dengan nama Kali Sampir. Di masjid tersebut ada sumur tua yang digunakan oleh mbah Mustofa untuk mengasah pedang dan sebenarnya mempunyai keajaiban bisa untuk kekuatan dan pengobatan. Dan makam Mbah Mustofa berada di belakang masjid dengan istri yang kedua dan mbah guru ( guru kanuragan mbah Mustofa  ) Sedangkan untuk ilmu keagamaan mbah Mustofa adalah Sunan Kudus.

Sedangkan Mbah Ilyas adalah seorang ulama yang berasal dari daerah Gringsing dulunya namanya adalah Desa Geringging Batang yang mengembangkan agama islam dan mendirikan pondok di pinggir kali bodri ( sekarang lokasinya adalah perbatasan Desa Pidodowetan dan Desa Pidodokulon dan di wilayah pantai Jomblom Ujung Korowelang. Disitu ada sumur towo atau sumur air tawar dan padepokan serta makam eyang Ilyas dengan istrinya yang bernama Raden Ayu Retno Jumilah.

Diwilayah Kaliayu diserahkan anaknya yang bernama Ali Mudro, Wilayah Cepiring diserahkan Nyai Piring, diwilayah Korowelangkulon diserahkan Ali Syahbanar dan diteruskan oleh Eyang Sentono. Diwilayah Plelen di jaga oleh Eyang Plelen, Pangeran Sambong dan wilayah pantai utara diserahkan Eyang Ilyas . Adapun tempat peristirahatan yang diwilayah Gringsing, Limpung yang merupakan tempat peristirahatan Eyang Senthongdirodjo berbentuk Batu Ceper atau Batu Lempeng yang berada di Tengah Kali untuk tempat tidur dan sampai sekarang masih ada batu sebagaimana dimaksud.

Eyang Senthongdirodjo mempunyai istri yang bernama Eyang Siti Ba’ilah bt Karso dan mempunyai keturunan 12 anak laki-laki diantaranya adalah Eyang Ali Mudro, Eyang Ali Syahbanar, Eyang Ali Mustofa. Eyang Senthongdiradja dan Eyang Siti Ba’ilah dan anaknya cucunya yaitu Eyang Ali Syahbanar, Ali Khasan dimakamkan di Makam/ Kuburan Kupu Tarung Desa Korowelangkulon. Eyang Ali Mudro dimakamkan di Belakang Masjid Kaliayu ( dulunya adalah padepokan kanuragan ).

Wilayah Widodol yang sekarang Desa Pidodowetan yang bubak pertama adalah Eyang Senthongdirodjo kemudian diserahkan ke Raden Wongsoredjo alias Pangeran Joko Thole. Dan berkembangnya waktu kemudian diserahkan Eyang Mustofa. Sehingga antara Eyang Senthongdirodjo, Pangeran Bagus Thole dan Eyang Mustofa ada sebuah perjanjian khusus di dalam menyebarkan agama islam di Wilayah Ujung Korowelang. Dan Eyang Mustofa diberi wilayah Widodol Sedangkan tempat untuk bertapa Eyang Senthongdirodjo dan Eyang Nyai Rampak adalah beada digua yang berada di tepi Kali Bodri ( sekarang ditempati / dibangun Balai Desa Pidodowetan ) Sehingga pada saat itu antara keberadaan Langgar yang sekarang jadi Masjid Al Mustofa dengan Gua tempat semedi/bertapa Eyang Senthongdirodjo dan Eyang Nyai Rampak sangat erat sekali hubungannya. Dimana wilayah ini sebagian diserahkan oleh Eyang Mustofa.

Dikampung ini bila seseorang masuk wilayah widodol dan bukan beragama Islam maka ditanya dan mau masuk agama islam apa tidak??. Bila tidak mau masuk agama Islam maka orang tersebut lalu dibunuh oleh Eyang Mustofa dengan pedang panjang dan mayatnya disampirke di Kali Bodri sehingga kali tersebut dinamakan Kali Sampir ( sekarang kali tersebut sudah mati dan berada dibelakang Masjid Al Mustofa )

Sebagian pengikutnya berada disekitar Ujung Korowelang disebelah sisi Muara Kali Bodri yang merupakan Hutan Rawa air payau yang pepohonan hutan tersebut antara lain : Pohon Api-api, Pohon Bakau dan Pohon Pidodo.Pohon Pidodo tingginya + 7 m sampai dengan 10 m. Pohon tersebut berbuah semacam/menyerupai buah dada wanita, isi buah Pidodo tersebut semacam buah delima jika dimakan rasanya manis agak asam.Berdasarkan cerita Tutur Tinular bahwa pada masa Pemerintahan Demak Bintoro, Pajang dan Mataram satu-satunya jalan perhubungan dan lalu lintas niaga yang paling lancar adalah melewati laut. Kapal-kapal dan perahu bila akan masuk di Muara Kali Bodri singgah dulu di Pelabuhan Niaga Keruk. Tepatnya Pelabuhan Keruk Ujung Korowelang. Ujung Muara Kali Bodri  dinamakan Ujung Korowelang hal tesebut berkaitan dengan nama Desa dikanan kiri Kali Bodri, Disebelah Timur Kali Bodri ada Desa yang namanya Korowelangwetan yang sekarang menjadi Desa Kumpulrejo Kecamatan Patebon. Adapun yang disebelah Barat Kali Bodri ada Desa yang namanya Desa Korowelangkulon dan sebelah utaranya dinamakan Desa Korowelanganyar Kecamatan Cepiring. Sedangkan Desa Pidodowetan bersebelahan dengan Desa Pidodokulon Kecamatan Patebon, sehingga yang dinamakan Ujung Korowelang adalah berada di Wilayah Cepiring ke utara pada saat itu.yang awalnya ujungnya desa adalah Korowelang. Namun berkembangnya waktu dan bubak alas secara terus menerus sehingga menjadi beberapa wilayah kekuasaan. Untuk lalu-lintas kapal dan perahu niaga yang keluar masuk di Pelabuhan Keruk Muara Kali Bodri yaitu di Ujung Korowelang yang pada masa Pemerintahan dibawah kekuasaan Tumenggung Gambiran (sekarang ex. Kawedanan Kaliwungu).Jabatan Bandar pada masa itu dipegang oleh Ki Sutomloyo dibawah kekuasaan Demang Magersari ( yang dahulu Magersari menjadi Kantor Kecamatan Patebon ) dan sekarang menjadi Pemerintah Desa Magersari Kecamatan Patebon. Dengan pindahnya Kademangan Magersari ke Asisten Wedono di Patebon pada Tahun 1800 M, Maka Jabatan Bandar yang dipegang Ki Sutomloyo diganti  oleh Ki Sutoleksono dan tak lama kemudian berganti petugas Bandar ke III adalah Ki Kertalaksana.Sedangkan Kekuasaan dari Tumenggung Gambiran (sekarang Kaliwungu) pindah ke Kabupaten Kendal kurang lebih  pada tahun 1826 M.Dan Ketika Bandar dijabat oleh Ki Kertalaksana maka Pelabuhan Keruk Muara Kali Bodri menjadi Pelabuhan Perdagangan Gula. Gula tersebut dari Pabrik Gula Puguh Gemuh dan Pabrik Gula Tjepiring ( Cepiring  ) pada Tahun 1835 M. Pekerjaan Syah Bandar diambil alih oleh penjajah Belanda dan yang memegang kuasa perpangkat Onder Controlir. Adapun Pohon Pidodo tersebut bagi para Nelayan ataupun para pejabat Pemerintah Demak dijadikan sebagai tenger / petunjuk bagi kapal dan perahu saat akan berlabuh, dari tengah laut kapal dan perahu yang akan masuk ke Muara Kali Bodri  di Pelabuhan Keruk menpunyai tanda alam/pepohonan yang tumbuh dhutan pantai yaitu Pohon Pidodo. Kalau orang nelayan untuk mengatakan tanda tersebut  yaitu sebagai tenger / sanggit. Dan dalam bahasa jawa mengucapkan “ Yen arep labuh menyang Keruk yo sanggito wit Pidodo, ono Pidodo sih kulon lan wit Pidodo sih wetan “ Karena perputaran Pemerintahan berjalan maka dalam kurun waktu Pekerjaan Bandar tersebut dengan merintis dan mengelola membuat sebuah Desa. Pada masa itu Sesepuh Cikal Bakal Desa merintis dan diberi nama Desa WIDODOL dan untuk membedakan wilayah maka disebut menjadi Desa Pidodowetan dan Desa Pidodokulon.

Dengan berkembanya waktu maka disamping itu dalam rangka penyebaran agama Islam di Desa Pidodowetan yaitu di Dusun Klangenan, Pidodo dan Malangsari sudah banyak berdiri beberapa langgar / mushola. Pada waktu itu alur sungai Bodri masih membujur ke Barat dengan nama Kali Sampir yang melewati belakang langgar dukuh Pidodo sehingga banyak perahu nelayan berlalu lalang di Sungai tersebut dan menyandarkan perahu (mampir) untuk melaksanakan shalat subuh bagi nelayan yang akan berangkat dan maghrib bagi nelayan yang pulang dari mengais ikan di laut. Karena Langgar tersebut sering digunakan untuk bersandar perahu dan disamping banyaknya warga sekitar yang memanfaatkan langgar untuk Jama’ah salat Jum’at dan kegiatan keagamaan bahkan pada waktu tertentu khusunya hari Jum’at tidak mampu menampung para jama’ah maka timbulah inisiatif untuk dikembangkan bentuk fisiknya ( dibuat lebih lebar dan besar )

Kyai Musthofa yag pertama kali mempelopori dan meneruskan membangun Musholla / Langgar menjadi lebih besar atau dengan sebutan sekarang adalah Masjid dalam bentuk sederhana dan menjadikan sebagai sarana peribadatan yang memadai serta sebagai pusat kegiatan keagamaan dan pengembangan agama Islam khusunya pengajian kitab-kitab kuning dan PHBI yang berjalan sampai sekarang. Beliau Wafat dan dimakamkan dibelakan Masjid Al Musthofa, satu-satunya makam yang berada dibelakang Masjid tsb.Sehingga sampai sekarang setiap tanggal 11 Rabi’ul Awal ba’da Ashar diadakan Khaul bersama Warga Desa Pidodowetan dan sekitarnya dan malam harinya diadakan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW diserambi Masjid Al Musthofa. Sehingga nama Kyai Musthofa diabadikan sebagai nama “ Masjid Al Musthofa “ sampai sekarang bahkan untuk mengenang nama tokoh agama tersebut Pondok Pesantren yang terletak di Selatan Masjid diberi nama Pondok Pesantren Al Musthofa yang diasuh oleh K.H. Muhammad Afif. K.H. Umar Basirun sebagai penerus, pengembang misi yang telah dilaksanakan oleh Kyai Musthofa sehingga apa yang telah dilaksanakan oleh Kyai Musthofa tetap dipertahankan dan dikembangkan sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat  pada saat itu. Pada waktu itu keadaan letak Masjid Al Musthofa berdekatan dengan sungai sampir / bodri sehingga setiap musim hujan / rending air dari sungai menggenangi wilayah masjid bahkan masuk ke serambi masjid, kemudian timbulah gagasan K.H. Umar Basirun selaku orang yang dipercayai untuk memperbaiki sehingga mengajak para kyai-kyai lain untuk bermusyawarah  dan menghasilkan keputusan yaitu meninggikan lantai dasar  masjid walaupun memerlukan biaya yang tidak sedikit dan bila  Lantai Dasar Masjid Al Musthofa ditinggikan maka  terhindar dari banjir ataupun luapan sungai. Akhirnya K.H. Umar Basirun pergi merantau selama 2 (dua) tahun ke Negara Brunai darussalam dan minta bantuan dana teman-temannya yang ada di Singapura guna mencari dana untuk pembangunan masjid. Semula masih sederhana termasuk tiang penyangga yang masih berupa kayu kecil dan belum beraturan diganti kayu yang besar kuat dan ditinggikan. Dalam proses pembangunan tersebut  setiap dana habis maka KH. Umar Basirun tidak segan-segan pergi kembali ke Negara Brunaidarussalam dan Singapura cari tambahan dana dan itu dilakukan berulang kali pulang pergi Pidodo—Singgapur. Disatu sisi bangunan Masjid Al Musthofa ada sebuah Sumur Bonk yang terletak di selatan masjid konon dulu airnya dipercaya mempunyai khasiat untuk obat berbagai penyakit dan sampai sekarang air sumur tsb masih digunakan tempat untuk ber wudlu bagi jama’ah wanita/perempuan. KH. Thoyib adalah KH. Umar Basiran. Bersamaan dengan Mbah Umar Basirun yang melakukan bubak alas di wilayah blok tegalrejo, dukuh bangunsari Desa Pidodowetan.

Pada masa itu kondisi perekonomian Desa Pidodowetan sangat bagus sehingga menarik perhatian Habib-habib atau sayid-sayid khususnya dari Pekalongan sering dating ke Pidodo sebagai saudagar sekaligus membawa misi mengembangkan Agama Islam, ada seorang habib yang biasa dipanggil Bib Moh ( Mohammad Hisyam ) karena seringnya ke Pidodo akhirnya kawin dengan gadis Pidodo dan menjadi warga Desa Pidodowetan dan sampai mempunyai keturunan hingga beliau meninggal dunia dan dimakamkan di pemakaman umum, sampai sekarang masih diziarahi oleh sebagian penduduk setempat dan sekitarnya. KH. Thoyyib mengembangkan agama dengan cara mengadakan pengajian rutin antar langgar/mushola bersama kyai-kyai lain diantaranya adalah KH. Nawawi, KH. Hasan yang akhirnya mendirikan Musholla yang sekarang diberi nama “ Baitul Hasan “ diasuh oleh Bp Ky. Musyafak, KH. Sarmani adalah bapaknya KH. Abdul Rosyid Khumairi ( Musholla Al Ikhlas ), KH. Mimbar ( Mushola Al Mimbar ) dst. Disamping itu KH. Thoyyib mendirikan Majlis Ta’lim yang digunakan untuk pengajian rutin bersama para santrinya. KH. Thoyyib juga mengajak warga sekitar untuk mengadakan mujalazah, munadlarah serta mendirikan jamiah mauludiyah yang dilaksanakan setiap malam senin dan kegiatan tersebut berjalan sampai sekarang.

Pada saat itu atas kerjasama semua tokoh Kyai/ulama’ dan Pemerintahan Desa yang pada masa itu Kepala Desa / Lurahnya Bapak Ichwan sehingga berdirilah Madrasah Ibtidaiyah sekitar tahun 1950 an yang keberadaanya sampai sekarang. Para ulama’ dan umaroh bersama-sama membangun Desa Pidodowetan Kecamatan Patebon Kabupaten Kendal dari berbagai lini kehidupan masyarakat.

Disamping itu di wilayah Dusun Klangenan yang berdekatan dengan Desa Wonosari Kecamatan Patebon juga dibangun Masjid “ Baitussalam “ yang pendirinya adalah Bapak Kyai H. Aboe Bakar dan kemudian dilanjutkan oeleh Bapak Kyai Wiryo anak dari Ibu Hj. Siti Aminah. Dan kemudian HJ. Siti Aminah kawin dengan KH. Sholeh dan mempunyai keturunan perempuan yaitu Ruliyah. Saat dewasa Ruliyah kawin dengan Bapak Ky. Timan anaknya Ibu Hj. Roekayah dengan Bapak Semin. Adapun urutan yang mbakoni Masjid Klangenan yaitu :

1.    Bapak K.H. Aboe Bakar

2.    Bapak Kyai Wiryo

3.    Bapak H. Sholeh

4.    Bapak Kyai Timan

5.    Bapak K.H. Mubasir

6.    Bapak K.H. Muhammad Hisyam

7.    Bapak K.H. Su’eb Mubasir Alias H. Abdul Aziz

8.    Bapak H. Soekisno alias H. Zaenal Abidin

Adapun Pemerintahan Desa Pidodowetan Kecamatan Patebon secara urut kepemimpinan / Kepala Desa / Lurah / Demang yang menjabat sebagai berikut :

1.     Semaun                               : Tahun 1930 s/d 1940 dan Akmad Kusiyo sebagai Carik

2.     Supaham                             : Tahun 1940 s/d 1942 dan Akmad Kusiyo sebagai Carik

3.     Sukir                                    : Tahun 1942 s/d 1945 dan Akmad Kusiyo sebagai Carik

4.     Kadar                                   : Tahun 1945 s/d 1949, dan Akmad Kusiyo sebagai Carik

5.     H. Muhammad Hisyam       : Tahun 1949 s/d 1950 dan Akmad Kusiyo sebagai Carik

6.     Achmad Kusiyo /Ymt          : Tahun 1950 s/d 1951 dan Akmad Kusiyo sebagai Carik

7.     H.M. Ichwan                        : Tahun 1951 s/d 1966 dan Akmad Kusiyo sebagai Carik

8.     Toyani / Ymt                       : Tahun 1966 s/d 1967 dan Sachmad sebagai Carik

9.     H.Khumairi Abd Rosyid       : Tahun 1967 s/d 1987 dan Supari Muryadi sebagai Carik

10.   Supari Muryadi / Ymt         : Tahun 1987 s/d 1988 dan Supari Muryadi sebagai Carik

11.   M. Iskandar                         : Tahun 1988 s/d 1996 dan Supari Muryadi sebagai Carik  dan mulai Tahun 1990 diganti Agusnadi sebagai Carik

12.   Agusnadi / Ymt                   : Tahun 1996 s/d 1997 dan Agusnadi sebagai Carik

13.   Masykur / Ymt                    : Tahun 1998 s/d 1999 dan Agusnadi sebagai Sekdes

14.   H.M. Iskandar                     : Tahun 1999 s/d 2004 dan Agusnadi sebagai Sekdes

15.   Agusnadi / Ymt                   : Tahun 2004 s/d 2006 dan Agusnadi sebagai Sekdes

16.   Ardhi Prasetyo/Pjs              : Tahun 2006 s/d 2007 dan Agusnadi sebagai Sekdes

17.   Sigit Wibowo                        : Sept 2007 s/d Sept 2013 dan Agusnadi sebagai Sekdes

18.   M. Sholakhudin                   : Sept 2013 s/d Sept 2019 dan Agusnadi sebagai Sekdes

19.   Siti Mudrikah                       : 11 Mei 2020 s/d Mei 2026 dan Agusnadi sebagai Sekdes

Demikian sekilas sejarah s/d sekarang di Desa Pidodowetan Kecamatan Patebon, Kabupaten Kendal.