Paseban Kemangi
Kabupaten Kendal bagi pecinta sejarah Jawa seharusnya bukanlah nama yang asing lagi di telinga. Terutama jika dikaitkan dengan sejarah Mataram Islam di masa lampau, tepatnya pada masa Raden Mas Rangsang berkuasa. Penguasa Mataram yang bergelar Kanjeng Sultan Agung Prabu Anyokrokusumo Senopati ing Alaga Ngabdurrahman Sayyidin Panata Dinan ing Mataram[1] ini tercatat dalam sejarah pernah mengadakan suatu pertemuan akbar di daerah Kendal yang dihadiri oleh banyak orang-orang penting dan petinggi Mataram kala itu, baik yang berasal dari daerah Kendal sendiri maupun yang berasal dari luar daerah.
Pertemuan besar tersebut tidak dilaksanakan di pendopo Kadipaten, melainkan dilaksanakan di sebuah tempat pertemuan tersembunyi yang bernama Paseban Kemangi, yaitu sebuah balai pertemuan yang bertempat di tengah hutan/persawahan yang tepatnya berada di bawah pohon yang sangat rindang, pohon itu bernama pohon kemangi, sehingga tempat berkumpul tersebut dinamai Paseban Kemangi. terletak di daerah yang sekarang bernama Desa Jungsemi, Kecamatan Kangkung[2].
Pertemuan besar yang diadakan di Paseban Kemangi tersebut tak lain yaitu untuk membahas mengenai persiapan perang kerajaan Mataram melawan VOC di Batavia, setelah sebelumnya upaya diplomasi yang diutus oleh Sultan Agung gagal mendapat kesepakatan untuk damai[3].
Banyak orang penting yang menghadiri pertemuan tersebut. Diantaranya yaitu Adipati Kendal sendiri, Tumenggung Bahurekso, yang dipercayai untuk memimpin pasukan Mataram dalam peperangan melawan VOC tersebut. Selain itu ada juga Pangeran Djoeminah yang merupakan putra dari Panembahan Senopati. Ada juga Bupati Pekalongan, Tumenggung Mandurorejo beserta saudaranya Tumenggung Uphasanta. Ada juga Pangeran Purboyo, Pangeran Kadilangu, Pangeran Sojomerto, Pangeran Puger, Tumenggung Rajekwesi, Kyai Aqrobuddin dan masih banyak lagi tokoh-tokoh penting dari kerajaan Mataram yang hadir pada pertemuan itu[4].
Oyot Mimang
Acara yang dihadiri oleh banyak pembesar Mataram tersebut memang bukanlah acara pertemuan biasa. Mengingat akan pentingnya kelancaran acara tersebut, dibutuhkan penanggung jawab yang dapat menjamin keberlangsungan pertemuan akbar tersebut. Penanggung jawab pertemuan besar itu dipercayakan kepada Tumenggung Rajekwesi atau yang juga dikenal dengan Ki Ageng Kemangi. Dengan dibantu oleh Kyai Aqrobuddin dan santri-santrinya dari Padepokan Laduni Faqoh, Ki Ageng Kemangi ini mempersiapkan segala keperluan untuk pertemuan tersebut, termasuk pula menjamin keselamatan para peserta pertemuan sekaligus menjaga kerahasiaan tempat pertemuan tersebut dari mata-mata VOC[5].
Salah satu strategi yang dilakukan oleh Tumenggung Rajekwesi atau Ki Ageng Kemangi ini yaitu dengan memasang penjagaan yang ketat di setiap daerah yang dijadikan pintu masuk para petinggi kerajaan menuju tempat perkumpulan. Baik penjagaan secara fisik maupun secara bathiniyyah. Oleh Ki Ageng Kemangi ini setiap tempat disekitar pertemuan itu dipagari dengan Oyot Mimang. Oyot Mimang ini merupakan salah satu penjagaan secara bathiniyyah yang diambil dari sari-sari Ayat Kursi yang bersumber dari Al-Qur’an. Dengan penjagaan dari Oyot Mimang ini tempat perkumpulan sama sekali tidak dapat dilihat dari luar, ketika ada mata-mata yang melihat daerah tersebut, yang dilihatnya hanyalah hutan belantara atau padang rumput yang sangat luas, sehingga tak ada satupun mata-mata VOC yang berhasil mengetahui isi dari pertemuan tersebut[6].
Lumbung Padi Pasukan Mataram
Tumenggung Rajekwesi dan Kyai Aqrobuddin juga mendapat tugas sebagai penanggung jawab masalah perlengkapan dan persediaan logistik untuk kebutuhan selama peperangan di Batavia. Tugas yang bisa dibilang sebagai tugas yang sangat berat, mengingat jumlah pasukan Mataram yang ikut terjun dalam peperangan tersebut sangatlah banyak.
Menanggapi hal tersebut, dengan tanpa pamrih ataupun mengharap pujian dari siapapun, Kyai Aqrobuddin dibantu oleh para santrinya dari Padepokan Laduni Faqoh bersama-sama membuat persawahan yang luas di sekitar Padepokan, atau sekarang dikenal dengan desa Sukodadi dan di desa sebelahnya. Kedua desa ini terletak di Kecamatan Kangkung, Kabupaten Kendal sekarang ini[7].
Sepanjang Pantai Utara Jawa saat itu memang digunakan sebagai lumbung padi untuk bekal peperangan yang memakan waktu cukup lama itu. Termasuk daerah yang dikelola oleh Kyai Akrobuddin ini juga termasuk kedalam daerah yang dijadikan sebagai lumbung padi pasukan Mataram saat itu[8].
Asal Mula Nama Kaliyoso
Dalam setiap usaha pastilah tidak ada yang mudah, termasuk pula usaha yang dilakukan oleh Kyai Akrobuddin ini. Area persawahan yang begitu luas itu tentunya membutuhkan banyak air agar hamparan padi dapat tumbuh dengan baik. Akhirnya dengan meminta persetujuan dari Ki Ageng kemangi, Kyai Aqrobuddin membuat saluran irigasi yang dibuat untuk mengairi area persawahan yang luas itu.
Dari usaha Kyai Aqrobuddin dan Ki Ageng Kemangi dalam membuat irigasi atau kali inilah nama Desa Kaliyoso berasal. Yaitu Kali yang berarti sungai, dan Yoso yang berarti membuat atau membangun, yang dapat dipahami secara bahasa yaitu sebuah usaha untuk membuat kali atau sungai[9].
Pasca Peperangan
Sebagaimana yang telah banyak dikisahkan di dalam buku-buku sejarah, bahwasannya penyerangan yang dilakukan oleh pasukan Mataram ke Batavia kala itu mengalami kegagalan. Seluruh pasukan pun ditarik mundur oleh Sultan Agung. Namun, pasukan yang ikut serta dalam peperangan tersebut dilarang untuk kembali ke Keraton Mataram. Termasuk para pemimpin perangnya pun tidak diperkenankan untuk kembali tinggal di Mataram[10].
Mayoritas para prajurit Mataram tersebut kemudian menetap di daerah Kendal, seperti Pangeran Djoeminah dan Tumengung Mandurorejo yang menetap di Kaliwungu, Pangeran Sojomerto di wilayah selatan, pangeran Sambong di daerah Sambungsari, Raden Muthohar dan Raden Harya Sungkana di Desa Sembung Kecamatan Cepiring, Kyai Aqrobuddin di Kaliyoso Kangkung, dan masih banyak lagi[11].
Di Desa Kaliyoso
Pasca peperangan, Kyai Aqrobuddin memilih untuk kembali ke tempat yang dibangunnya dahulu di Desa Kaliyoso. Kyai Aqrobuddin memang diakui sebagai tokoh yang pertama-tama mendirikan Desa Kaliyoso ini. Di sana, Kyai Aqrobuddin tidak lantas berdiam diri saja, Beliau senantiasa melaksanakan kewajibannya sebagai seorang tokoh ulama, yaitu memberikan syiar-syiar Islam di daerah tersebut, sepeti mengajar ngaji dan menjadi imam masjid di Masjid yang dibangunnya.
Kyai Aqrobuddin dikenal sebagai tokoh yang memiliki kharismatik serta memiliki sifat yang sangat dermawan. Beliau sering membagi-bagikan padi simpanannya kepada masyarakat setempat ketika Belanda merampas secara paksa semua padi simpanan masyarakat Kaliyoso. Anehnya, lumbung padi milik Kyai Aqrobuddin tidak terlihat berkurang, bahkan setelah dibagikan juga kepada masyarakat luar daerah Kaliyoso yang juga kekurangan bahan makanan.
Keberadaan Kyai Aqrobuddin ini sangat mengganggu usaha Belanda untuk dapat menguasai daerah Kaliyoso yang memang sejak dahulu diincar karena kekayaan alamnya tersebut. Berbagai cara pun dilakukan oleh Belanda untuk dapat menangkap Kyai Aqrobuddin. Namun, dalam kurun waktu yang lama Belanda tak juga dapat menemukan keberadaan Kyai Aqrobuddin.
Hingga Akhirnya ditempuhlah jalan kekerasan, yaitu dengan melakukan penyiksaan-penyiksaan terhadap masyarakat Desa Kaliyoso. Belanda beranggapan bahwasannya Kyai Aqrobuddin ini sengaja disembunyikan oleh masyarakat setempat karena beliau merupakan tokoh penting yang sangat berpengaruh di kawasan tersebut.
Karena tak tahan melihat penyiksaan-penyiksaan yang dilakukan oleh Belanda itu, Kyai Aqrobuddin tiba-tiba muncul dari dalam masjid. Dengan tenang beliau kemudian mendatangi kerumunan masyarakat yang sedang menghadapi penyiksaan tersebut[12].
Melihat kedatangan Kyai Akobudin, Belanda merasa sumringah, mereka menganggap strategi mereka untuk menangkap Kyai Aqrobuddin berhasil. Mereka pun langsung menangkap Kyai Aqrobuddin dan memasukkan beliau kedalam sebuah tong besar yang memang sudah mereka persiapkan sebelumnya.
Setelah Kyai Aqrobuddin dimasukkan ke dalam tong, tong tersebut pun ditutup rapat-rapat. Semua orang disana menyaksikan bahwasannya Kyai Aqrobuddin telah berhasil ditangkap oleh Belanda. Dengan ditarik oleh kuda, tong besar tersebut dibawanya menuju Batavia.
Semua memang menyaksikan peristiwa dimasukkannya Kyai Aqrobuddin ke dalam tong milik pasukan VOC. Akan tetapi, hal yang aneh kemudian terjadi. Tak lama setelah pasukan VOC meninggalkan tempat mereka menangkap Kyai Aqrobuddin, tiba-tiba terdengar suara adzan dari Masjid Kyai Aqrobuddin. Dan percaya atau tidak, ternyata yang melantunkan adzan tadi adalah Kyai Aqrobuddin sendiri[13].
Suasana duka yang tadinya menyelimuti masyarakat Desa Kaliyoso sekejap sirna, Kyai Aqrobuddin pun kembali melaksanakan kegiatan sehari-harinya di masjid itu seperti biasanya. Lain halnya dengan kondisi VOC di Batavia. Kemarahan para petinggi VOC memuncak, karena ternyata apa yang mereka bawa jauh-jauh dari Kendal itu hanyalah sebuah tong kosong yang tak berisi apapun. Akhirnya mereka pun memerintahkan pasukan VOC untuk kembali lagi menuju Desa Kaliyoso untuk menangkap kembali Kyai Aqrobuddin.
Tatkala pasukan VOC hampir sampai ke Desa Kaliyoso, kejadian aneh kembali terjadi. Sinar putih tiba-tiba memancar dari bekas Paseban Kemangi. Sinar tersebut tak ubahnya sebuah payung yang menutupi Desa Sekitar Kaliyoso, sehingga para pasukan yang sampai di tempat tersebut tak satu pun dapat melihat keberadaan Desa Kaliyoso yang mereka tuju. Yang mereka lihat hanyalah semak belukar, ataupun padang rumput yang tak berpenghuni. Inilah salah satu keajaiban dari Oyot Mimang yang dulu digunakan oleh Tumenggung Rajekwesi atau Ki Ageng Kemangi untuk melindungi sekitar kawasan Paseban..
Setelah sekian lama mencari, pasukan VOC tak kunjung jua menemukan keberadaan Kyai Aqrobuddin. Hingga akhirnya suatu ketika mereka mengiming-imingi pribumi sekitar yang mereka temui dengan upah yang besar bagi yang mau memberitahu keberadaan Kyai Aqrobuddin tersebut.
Siapa yang tak tergiur dengan janji-janji kemewahan dunia yang mereka bawa. Tak lama kemudian keberadaan Kyai Aqrobuddin dapat diketemukan kembali oleh pasukan VOC berkat “jasa” dari penghianat bangsanya sendiri. Ada seseorang pribumi yang memang diduga kuat melakukan kerjasama dengan VOC demi kepentingan pribadinya. Dibongkarlah rahasia pagar Oyot Mimang olehnya. Alhasil, Kyai Aqrobuddin pun ditangkap kembali.
Setelah ditangkap, Kyai Aqrobuddin direncanakan akan dibunuh. Namun, usaha mereka untuk membunuh Kyai Aqrobuddin tadi tak berhasil. Akhirnya Kyai Aqrobuddin disiksa dengan posisi tubuh diikat dan digantung dengan posisi kepala di bawah atau biasa dikenal dengan posisi “jungkir”. Kelak Kyai Aqrobuddin ini juga digelari dengan sebutan Mbah Jungkir.
Usaha VOC untuk menyiksa Kyai Aqrobuddin ternyata tak membuat beliau patah arah. Dengan penuh tawakkal, beliau dapat melalui siksaan demi siksaan yang dilakukan oleh Belanda. Alhasil, Belanda lah yang putus asa karena usahanya untuk membunuh Kyai Aqrobuddin tak kunjung berhasil. Karena keputusasaan Belanda inilah kemudian Kyai Aqrobuddin dilepaskan tanpa syarat[14].
Pada akhir hayatnya, Kyai Aqrobuddin dimakamkan di belakang masjid tempat beliau mensyiarkan ajaran Islam tersebut. Selain meninggalkan sebuah masjid yang menjadi saksi bisu perjuangannya, beliau juga meninggalkan sebuah bedug keramat yang konon selalu berbunyi ketika memasuki waktu sholat di zaman dahulu. Meskipun sekarang sudah tak pernah berbunyi sendiri lagi, cerita tersebut dipercaya sebagai sebuah kisah nyata dan dikisahkan secara turun temurun.
Untuk acara peringatan Khoul Kyai Aqrobuddin ini biasanya diperingati pada tanggal 5 Jumadil Awwal setiap tahunnya[15]. Wallohu A’lam
Referensi :
A. Hamam Rochani, Babad Tanah Kendal, (Semarang: 2003)
Tim Redaksi Pekalongan. (2009). Mozaik Sejarah Pekalongan. Pekalongan: Pemda Kabupaten Pekalongan.
Wawancara dengan penduduk setempat
https://ajiterarte.blogspot.com/2018/09/sejarah-tokoh-islam-kyai-aqrobuddin.html oleh :Miftachul Khawaji
[1] A. Hamam Rochani, Babad Tanah Kendal, (Semarang: 2003), hal 35
[2] Ibid, hal 309
[3] Tim Redaksi Pekalongan, Mozaik Sejarah Pekalongan, (Pekalongan: Pemda Kabupaten Pekalongan), hal 210
[4]A. Hamam Rochani, Babad Tanah Kendal, (Semarang: 2003), hal 308
[5]Ibid, hal 309
[6] Ibid, hal 310
[7] Ibid, hal 356
[8] Tim Redaksi Pekalongan, Mozaik Sejarah Pekalongan, (Pekalongan: Pemda Kabupaten Pekalongan), hal 213
[9] A. Hamam Rochani, Babad Tanah Kendal, (Semarang: 2003), hal 356
[10]Ibid, hal 356
[11]Ibid, hal 357
[12]Ibid, hal 358
[13] Ibid, hal 359
[14] Ibid, hal 361
[15] Diperoleh dari hasil wawancara dengan salah satu penduduk setempat