Pada jaman dahulu ada dua orang perampok yaitu Batwo dan Worong yang mempunyai banyak pengikut serta disegani masyarakat karena kesaktianya. Mereka lebih senang hidup dan membuat rumah di tepi sungai. Saat itu orang yang berguru ilmu agama pada Ki Ageng Mataram di bujuk agar meninggalkan agama itu. Dia benci pada orang yang beragama terutama agama Islam.
Suatu ketika ada seorang kakek penjual getuk yang beristirahat dan tertidur di pinggir jalan. Kemudian Batwo dan Worong mengambil semua uang dan dagangan untuk membeli arak serta berfoya-foya, setelah pedagang tadi bangun, terkejut melihat uang dan dagangannya hilang diambil orang. Kemudian pedagang tersebut kembali ke daerahnya di daerah Jogo Loyo ( sekarang ikut Demak Bintoro ) tepatnya 5 Km dari Masjid Agung Demak.
Suatu hari kakek penjual getuk itu datang lagi dengan membawa dagangan berupa telur ayam. Si kakek beristirahat di tepi sungai kecil, tidak jauh dari tempat beliau beristirahat dulu, ketika dua perampok mengambil uang dan dagangannya. Ketika sang kakek bangun terkejut dagangannya hilang lalu pulang lagi seraya berdoa kepada Allah mohon agar dia bisa bertemu dengan orang yang merampoknya.
Pada hari lain sang kakek datang lagi dengan membawa dagangan berupa singkong bakar. Di tempat itu kakek didatangi tiga gadis cantik yang ingin membeli dagangannya. Setelah membeli singkong bakar ketiga gadis itu pergi tanpa menginjak tanah, sambil berpesan kepada kakek agar berhati-hati karena akan ada bahaya.
Setelah itu kakek sadar, yang membeli bukan seoarang manusia tetapi peri. Tidak lama kemudian perampok itu datang disaat kakek itu belum tertidur dan berkata ‘bawa apa kek” ? Kakek itu menjawab “bawa ketela dua” dan dua rampok itu berkata kembali dengan agak menghina, “ Haa…ketela besarnya sebesar buaya”. Dengan jawaban yang tegas dan berani kakek itu berkata “ Raden Ucapanmu menjadi doa mu ”. Mendengar ucapan kakek dua perampok tadi marah karena kakek itu berbicara sambil jalan meninggalkan dua perampok itu.
Dan salah satu dari perampok itu mengejar jalannya sang kakek tadi sambil mengeluarkan tenaga yang ada. Tetapi anehnya tidak dapat mengejar kakek itu dan perampok yang masih tertinggal di hutan terkejut melihat dagangan sang kakek menjadi buaya semua, kemudian buaya tersebut memakan perampok hingga mati.
Akhirnya perampok yang satu dapat mengejar sang kakek sewaktu mau memakan singkong yang di bawanya. Sang kakek akhirnya tertangkap oleh perampok itu dan singkong tadi dibuang ke sungai karena kesal atas perkataan sang kakek. Setelah membuang singkong tadi ke sungai perampok itu belum puas seraya memukul sang kakek hingga terpental ke seberang sungai. Sewaktu perampok itu melompat keseberang sungai ingin memukuli sang kakek kembali, tiba-tiba singkong tadi berubah jadi panjang dan keras seperti tulang (gading), dan singkong tadi menusuk dada perampok itu hingga tewas. Spontan kakek itu berkata “ Haa…wong kali kok ono gadinge ”. Dan kemudian kakek itu berkata lagi umodipumo besok yen ono rejaning zaman kampung iki tak jenengi “ Kaligading ”.
Sekarang kakek merasa aman karena dua musuhnya sudah mati dan beliau bermukim di situ, bertani dan menyebarkan agama Islam sampai wafat dan dimakamkan di tanah kosong di beri tanda dua bambu ampel dan makam itu sudah hilang menjadi serumpun pohon bambu ampel. Kakek itu adalah Syeh Abdul Rohman murid Syeh Ibrohim dan Kyai Kulkum.
Semoga dari cerita singkat ini kita sebagai anak cucu bisa meneruskan perjuangan Syeh Abdul Rohman.