Berdasarkan tutur tinular yang berkembang di masyarakat Desa Sidorejo, mengenai asal-usul keberadaan Desa Sidorejo, bahwa Desa Sidorejo berasal dari dua Desa yakni Desa Kalijaran dan Desa Srogo.
Desa Kalijaran pada awalnya terdiri dari Kalijaran, Maponsari dan Tegal. Nama Kalijaran konon ceritanya yang tertulis didalam buku BABAT TANAH KENDAL nomor 339, bahwa Tumenggung Begananda dalam perjalanannya naik kuda, sesampainya di sungai (kali) kuda tersebut berhenti lalu di mandikan, maka Desa tersebut diberikan nama Kalijaran.
Desa Srogo yang terdiri dari 3 (tiga) Dusun yaitu : Dusun Srogo, Dusun Pilang serta Dusun Kersan. Tak ubahnya dengan Kalijaran, Desa Srogo karena perjalanan Tumenggung Begananda yang naik kuda itu, sesampainya di tempat tersebut kudanya “ngesrok”, lalu kuda tersebut diberi makan kesukaannya yaitu “sego” (nasi). Maka tempat tersebut diberi nama Srogo.
Sejalan dengan bergulirnya waktu, pada sekitar tahun 1911, masyarakat Dusun Srogo sudah dilewati oleh “sepur” (kereta api) dan dilengkapi dengan keberadaan “sekip” (stasiun) oleh Pemerintah Belanda. Pada waktu itu dipimpin oleh seorang yang bernama Ratu Yuliana. Transportasi berupa kereta api tersebut dimanfaatkan oleh masyarakat Srogo dan sekitarnya. Terlebih pada waktu itu belum ada sarana transportasi umum lain, kecuali kereta api. Sehingga dari segala penjuru disekitar Desa Srogo sangat antusias akan keberadaan alat transportasi tersebut. Lalu mendatangai stasiun yang berada di Srogo untuk menumpang kereta api. Dengan demikian, Desa Srogo menjadi tanah dari segala penjuru karena sebagai pusat transportasi pada waktu itu. Namun lambat laun sehubungan dengan makin berkembangnya situasi serta semakin banyaknya ketersediaan sarana transportasi, hingga sekitar tahun 1965 stasiun Srogo hilang dengan sendirinya.
Dusun Pilang menurut cerita yang tertulis didalam buku Babat Tanah Kendal nomor 192-194 secara singkat bermula dari Raminten dan Surati adalah dua orang anak bersaudara dari Pakuwojo. Meskipun Pakuwojo telah menjodohkan Surati dengan Joko Tuwung, namun hati Joko Tuwung lebih condong pada Raminten (adik Surati). Raminten ternyata juga menaruh hati pada Joko Tuwung. Sikap Raminten tersebut membuat ayahnya tersinggung, sehingga Raminten menjadi sasaran amarah ayahnya.
Mengetahui ayahnya marah, Raminten melarikan diri. Ketika dalam pengejaran ayahnya, didapatinya Raminten sedang berada disebuah rumah bersama segerombolan pemuda yang juga terdapat Surati. Dengan gerak cepat Pakuwojo menampar Raminten. Tak hanya sekali, Pakuwojo menampar Raminten sekali lagi, namun untuk tamparan yang kedua kalinya Raminten dibela oleh kakaknya Surati. Akhirnya kemarahan Pakuwojo dilampiaskan pada Surati dan Raminten terus berlari dan disembunyikan oleh Joko Tuwung.
Surati terus dihajar oleh Pakuwojo dengan cara diikat. Kekasih Surati yang bernama Kidang tidak tinggal diam berusaha membebaskan kekasihnya, namun apa boleh buat kekuatan Kidang tidak sebanding untuk menandingi Pakuwojo. Sekali gertak, Kidang langsung tersungkur dan bagian pipi sebelah terkena sabetan pusaka Pakuwojo. Tempat hilangnya pipi Kidang diberi nama Pilang (pipinya hilang). Suratipun dalam keadaan terikat, akhirnya meninggal dunia.
Seiring dengan perkembangan zaman, Kalijaran yang kepala Desanya bernama Wong Sodikromo, lalu digantikan oleh Sutorejo dan Srogo yang kepala Desanya Surogati lalu digantikan oleh Kartodroso dan Kepala Desa terakhir Sutowijoyo, berdasarkan musyawarah dan kesepakatan bersama dari Kalijaran diwakili H. Bakri CS dan Srogo oleh Sutowijoyo CS. Namun pada tanggal 06 Juli 1972, Sutowijoyo meninggal dunia. Pemerintahan Desa kemudian mengadakan pemilihan Kepala Desa secara demokrasi dan Kepala Desa terpilih adalah Soemoredjo. Karena suatu hal pemerintahan Desa pimpinan Soemoredjo lengser, lalu mengadakan pemilihan kepala Desa kembali dengan kepala Desa terpilih adalah Soetriman dan setelah habis masa kerjanya digantikan jabatanya oleh Achmad Karso.
Pada masa kerja jabatan, Achmad Karso melaksanakan pengembangan perumahan + 8 Ha pada tahun 1994 dengan developer Soewardi Mangoen Soewirjo dari Semarang, dan perumahan tersebut oleh kepala Kecamatan Idris Busyairi diberi nama nama Pondok Brangsong Baru.
Namun, disebelah barat laut Pondok Brangsong Baru terdapat sepetak tanah sawah seluas + 1 Ha yang menurut rumor di masyarakat bahwa sawah tersebut pada zaman dahulu milik Desa Sidorejo. Sehubungan pada waktu itu ditemukan mayat di sawah tersebut, maka tidak ada masyarakat Sidorejo yang merawat. Kemudian tanah sawah tersebut dirawat oleh masyarakat dari Desa Tosari. Hal tersebut sesuai kesepakatan pada waktu itu, yaitu siapa yang merawat jenasah, itulah yang berhak memiliki tanah tersebut. Maka sampai sekarang tanah tersebut menjadi hak milik sebagai Bondo Desa Tosari. Yang sekarang dikenal sebagai sawah sebatang.
Adapun para pemimpin Desa Sidorejo berurutan sesuai masa baktinya adalah sebagai berikut :