Pada tahun 1518 M yaitu pada zaman kerajaan Bintoro Demak dibawah pimpinan Raden Trenggono sedang melakukan perluasan wilayah, maka diutuslah Raden Tanujoyo atau Ki Ageng Juwiring yang berasal dari Kelurahan Juwiring Kecamatan Juwiring Kabupaten Klaten, yang pada waktu itu masih menjabat sebagai Patih di Wonosalam Demak, untuk memperluas wilayah Demak khususnya di daerah pesisir utara pulau Jawa.
Mbah Tanujoyo yang mempunyai nama asli Raden Makdum Tanujoyo bersama bibinya yang bernama Nyai Cindil Wiring (Sayyidah Dzawi Nur Hidayah), atas perintah dari Sultan Trenggono kemudian berangkat menuju daerah Kendal, kemudian Mbah Tanujoyo berhasil menguasai wilayah seluas ± 2000 km2 yang tepatnya sekarang disebut Desa Juwiring, dengan batas wilayah sebelah utara laut Jawa, sebelah timur Desa Kaliayu dan Desa Damarsari, sebelah selatan Desa Damarsari dan Desa Karangayu, sebelah barat Desa Sidomulyo.
Dari keseluruhan wilayah Desa Juwiring terbagi menjadi beberapa blok yaitu blok persawahan dan blok permukiman.
Yang termasuk dalam blok persawahan diantaranya: blok Gisik, blok Pasungan, blok Gembyang, blok Weden, blok Krandon, blok Kwenen, dan blok Gumuk Gajah. Sedangkan blok permukiman terdiri dari: blok Juwiring Lor, blok Juwiring Plenjen, blok Juwiring Tengah, blok Juwiring kidul, dan blok Juwiring Tempel.
Menurut cerita, nama Desa Juwiring diambil dari nama Nyai Cindil Wiring. Selain dua orang tokoh tersebut di atas juga ada seorang tokoh yang merupakan pelopor berdirinya Desa Juwiring yaitu Waliyulloh bernama Sulkhan Khanan yang berasal dari Yaman saat itu beliau sedang berguru di Banten sekitar tahun 1417 M kemudian beliau mengabdikan dirinya di Desa Juwiring sampai dengan wafat dan dimakamkan di makam Krandon (sebelah barat desa), sedangkan Mbah Tanujoyo dan Nyai Cindil Wiring berada dalam satu komplek makam Krapyak (sebelah timur desa).
Untuk mengenang jasa-jasa para pembubakyoso (tokoh pendiri desa) khususnya Mbah Tanujoyo setiap setahun sekali tepatnya pada hari Jum’at Kliwon dibulan Assyura’ (Suro dalam bahasa Jawa) diadakan selamatan Nyadran (Khoul) oleh masyarakat Desa Juwiring dengan tradisi menyembelih kambing kendit (bulu hitam yang pada pinggangnya melingkar bulu putih) di lokasi dekat makam Mbah Tanujoyo dan dimasak di tempat itu juga. Selain menyembelih kambing kendit Kepala Desa menyiapkan ambeng bucu, golong/nasi 7 atau 9 bucu dibungkus daun pisang, juada pasar untuk disajikan dan dimakan bersama-sama. Selain itu juga menyiapkan kembang ketelon, cerutu, daun siri untuk diletakkan di atas makam beserta dengan organ kambing yaitu bagian tanduk, kuping, mata, lidah, tracak/kaki, paru-paru, hati dan ginjal dibarengi dengan membakar kemenyan.
Sejarah singkat Desa Juwiring merupakan fenomena sebuah peradaban yang patut untuk dilestarikan sebagai bagian pembelajaran dan ikatan batin dalam mewujudkan rasa cinta tanah air dan bangsa (nasionalisme).
Pada masa penjajahan Belanda, Desa Juwiring dipimpin oleh Kepala Desa Soesilo, kemudian pada masa penjajahan Jepang Kepala Desa Soesilo dilengserkan dan digantikan oleh Kepala Desa Pandoli selama 3 tahun (1945 – 1948), kemudian Soesilo menjadi Kepala Desa lagi selama 41 tahun (1948 – 1989), setelah era Soesilo pemilihan Kepala Desa dilakukan oleh panitia desa, dan terpilih sebagai Kepala Desa adalah Abdul Muqid (1989 – 1999), kemudian Sujud (1999 – 2007), kemudian Komari (2007 – 2013) kemudian Kepala Desa dipegang oleh Abdul Salam (2013 – 2019) dan sekarang jabatan Kepala Desa Desa Juwiring di nahkodai oleh Bp. Mastur (2020-2026) kemudian karena ada perpanjangan masa jabatan Kepala Desa (Kades) se-Kabupaten Kendal yang semula enam tahun menjadi delapan tahun di Pendapa Tumenggung Bahurekso, Jumat 7 Juni 2024 oleh Bupati Kendal Dico M Ganundito dikarenakan ada penyesuaian Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2024 tentang Desa perubahan kedua atas undang-undang nomor 6 tahun 2014 tentang desa,maka jabatan Kepala Desa Juwiring Bp. Mastur berakhir sampai dengan Tahun 2028.