Putatgede, Kec. Ngampel


Pada akhir masa perang Pangeran Diponegoro pada tahun 1835 banyak dari pengikut pangeran Diponegoro yang menyingkir karena desakan dari tentara kompeni diantaranya adalah Pangeran Anom Haryokusumo atau sebutan lainnya Kyai Putih (Kyai Putat) yang menyingkir bersama pengikutnya kearah utara dari bekas daerah konflik peperangan antara pangeran Diponegroro dengan kompeni, dikarenakan desakan yang sedemikian hebat dan tidak seimbangnya kekuatan baik dari jumlah personil maupun persenjataan maka kyai putih mengadakan siasat dengan melakukan pengajian dakwah ditiap-tiap daerah yang dia singgahi sekaligus menyusun kekuatan yaitu perekrutan personil dan penambahan senjata perang hal ini dengan tujuan mengadakan perlawanan sekaligus menyelamatkan para pengikut Pangeran Diponegoro dari kejaran tentara kompeni, dikarenakan aktifitas pengajian dakwah kyai putih yang selalu berpindah – pindah hal ini menimbulkan kecurigaan dari pemerintahan kompeni, maka dikejarlah kyai putih bersama pengikutnya, mengetahui hal demikian kyai putih semakin menyingkir keutara dan sampailah kyai putih di wilayah bekas kerajaan pajang (Demak) pada tahun 1840, yang masyarakatnya mayoritas adalah muslim, didaerah bekas kerajaan pajang inilah kyai putih mulai mengadakan konsolidasi kekuatan dengan para pengikutnya, maka kyai putih mulai mengadakan hubungan diplomasi dengan petinggi – petinggi di bekas kerajaan pajang untuk mendapat dukungan dan persenjataan dari bekas kerajaan pajang, karena maksud yang baik serta tulus ikhlas dan pengetahuan agama islam yang luas maka kyai putih banyak mendapat dukungan dari berbagai pihak.

Dari sini kyai putih mulai mendapat simpatisan yang bersedia untuk berjuang demi membela tanah air. Mengetahui hal demikian ditambah persenjataan yang lengkap maka kyai putih melakukan siasat perang gerilya antara tahun 1840 – 1845, dalam taktik perang gerilya tersebut kyai putih bertujuan untuk memotong jalur distribusi antara semarang, salatiga dan magelang sehingga pemerintahan kompeni diwilayah selatan tersisolasi dari pemerintah pusat dalam melakukan aksinya yaitu didaerah pegunungan ungaran dan merbabu dengan melaksanakan taktik pukul lari serta penghancuran bahan – bahan pokok dan suplai persenjataan kompeni, dan dari strategi ini pemerintahan kompeni mengalami banyak kerugian, karena sulitnya mengontrol keamanan ditribusi diwilayah tersebut serta medan tempur yang tidak begitu dikenal oleh tentara kompeni diwilayah tersebut, menghadapi hal demikian maka pemerintah kompeni melakukan siasat yaitu merekrut mata-mata dari orang-orang pribumi untuk mengetahui letak persembunyian tentara kyai putih, dikarenakan pengkhianatan yang dilakukan oleh orang – orang pribumi maka bisa diketahui olek kompeni letak markas komando sebagai pusat perjuangan kyai putih.

Setelah informasi yang dianggap telah tepat dan akurat berdasarkan operasi rahasia intelijen yang bertahun tahun dan diketahui bahwa kyai putih memiliki pasukan dengan persenjataan lengkap serta kemampuan perang yang terlatih, maka kompeni pada tahun 1849 mengadakan Operasi Herlina dengan mengerahkan armada laut dari divisi Batavia dan satuan kavaleri dan infanteri dari divisi semarang dan magelang dibantu orang – orang pribumi yang pro kompeni untuk menggempur habis-habisan posisi tentara kyai putih dan para pengikutnya yang berada di bekas kerajaan pajang (Demak), begitu mengetahui bahwa posisi yang terkepung maka kyai putih bersama pengikutnya mengadakan perlawanan sampai titik darah penghabisan dengan taktik perang parit, dalam peperangan tersebut terjadi duel artileri dari darat pasukan kyai putih melawan artileri laut dari armada laut divisi Batavia  dan perang darat antara pasukan kavaleri dan infanteri, konon peperangan ini berlangsung selama tiga hari tiga malam dan sangat heroik, yang menimbulkan jumlah korban yang banyak diantara kedua belah pihak.

Mengetahui bahwa pasukannya terpukul karena kalah jumlah personil maupun persenjataan karena pasukan kompeni didukung oleh pasukan dari divisi jepara dan armada laut divisi makasar, maka kyai putih memerintahkan pasukanya untuk mundur kearah selatan menuju karangawen kemudian kebarat kedaerah salatiga dan ternyata disalatiga pasukan kyai putih telah dihadang oleh pasukan kompeni maka terjadilah perang yang tidak seimbang karena pasukan kyai putih sudah kelelahan ditambah persenjataan yang menipis, maka kyai putih memerintahkan pada pasukannya untuk menyingkir kebarat menuju pegunungan ungaran dan didaerah pegunungan ungaran ini kyai putih bersama pengikutnya melakukan perlawanan dengan taktik perang gerilya, serta membangun kekuatan kembali dari sisa-sisa pasukannya, tetapi karena pasukan kompeni selalu melancarkan operasi peperangan diwilayah pegunungan ungaran, hal ini memaksa pasukan kyai putih dan pengikutnya mundur kearah utara, turun gunung melalui perbukitan medini lalu turun keutara dan sampailah kyai putih dan pengikutnya kewilayah kaliwungu pada tahun 1851 dan ternyata dikaliwungu kyai putih dan para pengikutnya bertemu dengan sisa-sisa pasukan mataram yang gagal menaklukan Batavia, Kyai putih diterima oleh Pangeran Djuminah lalu disarankan oleh Pangeran Djuminah agar demi keamanan dan ketentraman  serta usia kyai putih yang sudah mulai sepuh, kyai putih dan pengikutnya agar menyingkir dan mendirikan pondok pesantren diwilayah barat kaliwungu yaitu didaerah hutan pohon putat yang mana hutan pohon putat tersebut terbelah sebuah sungai dan sungai tersebut berbelok-belok tidak seperti sungai lainnya.

Setelah dirasa kondisi pengikutnya sudah mampu untuk berpindah maka kyai putih bersama pengikutnya turun gunung menuju kearah barat menuju daerah seperti apa yang dipesankan oleh Pangeran Djuminah yaitu hutan pohon putat yang terbelah sebuah sungai yang berbelok-belok. Setelah memakan waktu kuramg lebih setengah hari sampailah kyai putih di daerah seperti yang diamanatkan oleh Pangeran Djuminah dan didaerah tersebut Kyai Putih bertemu dengan seorang Mpu yang mengasingkan diri yang bernama Mpu Paku wojo setelah memperkenalkan diri kyai putih diantar oleh Mpu Paku Wojo menuju daerah yang dimaksud oleh Pangeran Djuminah dan sampailah kyai putih di hutan pohon putat, dan pada waktu istirahat bersama pengikutnya di sebelah sungai, kyai putih melihat sebuah pohon putat yang paling besar diantara pohon putat yang ada dihutan tersebut, maka kyai putih memerintahkan agar pembangunan pondok pesantren berada tepat didepan pohon putat yang besar tersebut dan menamakan pondok pesantren tersebut dengan nama Pondok pesantren Putatgede (sekarang sawah cakaran), kemudian karena sungai yang membelah hutan pohon putat berbelok –belok tidak seperti sungai lainnya maka kyai putih menamakan sungai tersebut dengan nama “Kali Bedo” atau dalam bahasa Indonesia yang berarti Sungai yang berbeda.

Kemudian dengan berkembangnya pondok pesantren Putatgede maka lokasi pondok tersebut menjadi ramai karena banyaknya murid-murid pendatang dari luar daerah untuk menimba ilmu dipondok kyai putih, dengan aktifitas yang begitu tinggi dan keramaian yang demikian maka berdatanglah para pedagang untuk berdagang di sepanjang kali Bedo maka terjadilah jual beli pakaian, bahan makanan dan lain-lain. Lalu para pendatang menamakan daerah jual beli tersebut dengan nama Pasar Putat (sekarang pasar sukodono). Dengan tersohornya pondok pesantren putatgede maka banyak para santri dan orang-orang yang menetap disekitar pondok menamakan kyai putih menjadi Kyai Putat. Maka jadilah hutan pohon putat yang dulu sunyi senyap menjadi sebuah kawasan dengan putaran ekonomi yang tinggi, jadilah kawasan ini menjadi sentra dagang dan sentra agama dipesisir laut jawa dan menjadi kawasan transit dari kaliwungu menuju kendal, dengan populasi penduduk yang semakin hari makin bertambah maka luas pondok pesantren semakin hari makin bertambah, seiring datangnya pendatang dari luar, dengan luas wilayah administrasi tersebut Kyai Putat pada tahun 1860 menamakan wilayah tersebut menjadi Desa Putatgede dengan Kyai Putat yang menjadi Kepala Desa Pertama di Desa putatgede dibawah kekuasaan Kadipaten Kendal.

Setelah Desa Putatgede secara resmi diakui oleh kadipaten Kendal maka letak dan posisi desa putatgede semakin strategis dan tersohor ketika saat itu Kiageng Pandanaran (Sunan Pandanaran) melakukan pertemuan dengan Sunan Kalijogo dipondok pesantren Putatgede untuk penyempurnaan ilmu keagamaan Islam dengan disaksikan oleh para sesepuh Desa Putatgede, dan berikut Susunan Kepala Desa dan Perangkat Desa Putatgede :

No. NAMA MASA PEMERINTAHAN KETERANGAN
1 KGPA  Haryokusumo / Kyai Putih / Kyai Putat    
2 Raden Panulung / Kyai Gunung 1875 – 1915 Putra Tumenggung Dipojoyo senopati yang gugur dalam perang dibekas kerajaan pajang (Demak) menjadi kepala desa berusia 18 tahun
3 Raden Pikat / Kyai Dharmo / Kyai Darman 1915 –  1937 Tidak mempunyai keturunan, bekas rumah beliau di RT 01/05
4 Asnawi 1937 – 1965 Sebagai carik Kayam / Gardjo / Koesnadi
5 Kasidjo 1965 – 1967 Sebagai carik Moh. Sueb
6 Djasman 1967 – 1991 Sebagai carik Moh. Sueb / Budiharto
7 Sinnung Wardoyo 1991 – 1999 Sebagai carik Budiharto
8 Siswantoro Suwandi 1999 – 2007 Sebagai carik Budiharto / Arif Budiman
10 Supriyadi 2007 – Sekarang Sekdes Arif Budiman
Sekdes Nofim Indriyani

Demikian sejarah awal mulanya terbentuknya pemerintahan Desa Putatgede semoga bisa memberikan pandangan dan harapan yang positif bagi kita semua demi kemajuan dan kemakmuran Desa Putatgede yang merupakan Desa yang kita cintai dan untuk selalu kita jaga harkat dan martabat Desa Putatgede.