Bermula dari wilayah Ngaglik, wilayah ini merupakan pemukiman penduduk dengan jumlah warga sekitar 7 kepala somah (KK), sekitar 28 jiwa yang disesepuhi Ki Jiworogo, mereka sekeluarga merasa terlalu sempit untuk bercocok tanam maka beliau berencana mengajak rekan-rekannya berpindah mencari lahan pertanian yang tepat. Beliau mendengar disebelah utara ada seorang Putri dan 2 dayangnya yang mesanggrah[1], maka keluarga Ki Jiworogo berniat menghadap Sang Putri di alas Bromarkoto[2]. Putri berserta ke dua dayangnya datang ke alas Bromarkoto dari Serang Banten, walaupun asal putri – putri tersebut awalnya dari Solo. Adapun tujuannya adalah mencari jejak kekasihnya Raden Sanjaya, disamping melarikan diri dari kejaran kolonial Belanda. Peristiwa ini terjadi sekitar tahun 1862.
Keberangkatan Ki Jiworogo ternyata dihadang oleh beberapa orang yang mengaku sebagai Begal, siapa yang lewat menyeberang Sungai Blorong harus menyerahkan harta bendanya, kalau tidak menyerahkan harta bendanya maka tidak diperbolehkan menyeberang sungai Blorong, kalau memaksa menyeberang akan terjadi perkelahian. Tetapi Ki Jiworogo mengajak berunding dan menjelaskan bahwa maksud tujuan Ki Jiworogo adalah untuk ngangsu kaweruh (berguru) ke Sang Putri. Karena tujuannya baik, maka rombongan Ki Jiworogo diperbolehkan menyebrang sungai Blorong untuk bertemu Sang Putri di Pesanggrahan Alas Bromarkoto. Orang-orang yang mengaku begal tersebut sebenarnya adalah pengikut Sang Putri, mereka bernama :
Tempat pertemuan Begal dan Ki Jiworogo disungai Blorong tersebut bila ada rejaning jaman (kemakmuran) tempat ini dinamakan KEDUNG BEGAL, sehingga sampai sekarang tempat tersebut bernama Dukuh KEDUNG BEGAL.
Selanjutnya Ki Jiworogo melanjutkan perjalanan kembali, namun di tengah jalan tersesat/nyasak-nyasak (bahasa Jawa) hingga kini tempat tersebut menjadi Dukuh SASAK. Kemudian Ki Jiworogo melanjutkan perjalanan, di tengah perjalanan mendengar suara gremeng-gremeng (samar-samar), oleh Ki Juworogo tempat tersebut bila ada rejaning jaman ( kemakmuran ) diberi nama SEGRUMUNG, hingga sekarang menjadi nama Dukuh SEGRUMUNG. Pada akhir perjalanan, Ki Jiworogo bisa bertemu Sang Putri di Pesanggrahan Alas Bromarkoto.
1.1. SEJARAH DEN AYU PUTRI.
Bermula dari Serang Banten (Jawa Barat), adalah sisa-sisa laskar Pangeran Diponegoro yaitu 3 orang putri bernama :
Siti Aminah dan Siti Tasminah adalah dua orang dayang pengapit/pengawal Sang Putri yang tersohor, Den Ayu Putri yang bernama asli SITI SUNDARI. Beliau berasal dari Kerajaan Surakarta. Tiga orang putri tersebut masuk ke hutan untuk menghindarkan diri dari kejaran Belanda. Disamping perjalanan penenangan dan penyelamatan diri, beliau juga mencari kekasihnya bernama RADEN SANJAYA pada tahun 1862. Ternyata yang ketemu di alas/hutan Bromarkoto hanya berupa bangunan Candi dan mata air yang diber nama oleh beliau Sendang Sanjaya, sampai sekarang terkenal dengan nama Sendang Senjoyo. Kemudian beliau mesanggrah di dekat Candi sambil menenangkan diri dan merawat luka kakinya dengan menggunakan ramuan daun-daun yang ditumbuk diatas batu. Batu tersebut diberi nama BATU TUMPANG, sampai sekarang batu tersebut masih berada di dalam Pesanggrahan.
Tiga orang putri tersebut mesanggrah di sekitar Candi yang dibuat oleh Raden Sanjaya. Beliau membina orang-orang yang ingin berguru, disamping bercocok tanam juga dilatih olah kanuragan dan kesaktian. Tidak aneh beliau bisa mengumpulkan orang-orang untuk ngangsu kaweruh, karena beliau seorang putri yang tersohor dari Kerajaan Surokarto yang mempunyai kasekten serta kewibawaan yang tinggi. Banyak warga yang datang dan menetap disekitar Pesanggrahan Den Ayu Putri.
1.2. ASAL USUL TANAH
Ki Jiworogo diterima beliau Den Ayu Puteri untuk bergabung dengan warga yang berada dialas Bromarkoto, terjadilah pemindahan warga Ngaglik ke kukuban/wilayah alas Bromarkoto pada tahun 1868, berkumpul di padepokan Den Ayu Putri untuk ngangsu kaweruh dengan beliau tentang ilmu kanuragan dan bercocok tanam.
Untuk mendapatkan lahan pertanian yang layak, pada saat itu diadakan pembagian tugas pengolahan hutan di alas Bromarkoto. Ditunjuklah pemuka-pemuka sebagai pimpinan membuka hutan sebagai lahan pertanian dan pemukiman, diantaranya :
Antara tahun 1868 sampai tahun 1916 adalah awal proses kependudukan yang awalnya dipimpin beliau Den Ayu Putri. Kemudian pada tahun 1917 diadakan musyawarah untuk membentuk kepemimpinan, pemimpin yang disebut petinggi/lurah dipilih dengan cara kesepakatan warga, ternyata yang terpilih adalah Ki Jiworogo. Beliau dinobatkan menjadi petinggi/lurah pertama.
Untuk menjaga keamanan, ketertiban dan kelestarian daerah, warga mempercayakan pada Ki Jiworogo untuk memimpin. Ia didampingi Ki Supondriyo, Ki Sononggo, Ki Gigu Tasiyah dan Demang Sepetek. Kemudian mereka menamakan wilayah tersebut menjadi Desa Putrisobo disingkat TRISOBO, dengan maksud (Tri = Putri, Sobo = lelana/mengembara) Tiga putri yang mengembara. Dan orang-orang yang bergabung sebagian besar dari Ngaglik maka nama Desa tersebut ditambah menjadi Desa Ngaglik Trisobo. Ngaglik yang artinya = Moglak-maglik (penduduk yang belum menetap kedudukannya).
Di kemudian hari ada mata-mata Belanda yang menyusup di kalangan warga dengan pura-pura menjual minuman Dawet. Mata-mata itu mengetahui bahwa di tempat itu ada buronan Belanda, maka segera dilaporkan ke pihak Belanda. Pada saat itu juga tahun 1918 Den Ayu Putri meninggalkan Desa Ngaglik Trisobo, memberi wangsit/wasiyat Desa Ngaglik Trisobo jangan sampai ada orang yang menjual minuman dawet masuk ke desa Trisobo, bila dilanggar akan terjadi musibah.
1.3 SEJARAH KEPEMIMPINAN
“Para pengusaha, jangka waktunya paling lama 75 tahun. Penduduk pribumi juga boleh menyewakan tanahnya .“
Undang – undang Agraria ini bertujuan memberi kesempatan kepada para penguasa swasta asing (Eropa) untuk membuka perkebunan di Indonesia. Disini terjadi pemaksaan penguasaan tanah pertanian oleh penjajah Belanda, tanah pertanian penduduk yang dibuka oleh Ki Jiworogo tersebut beralih fungsi menjadi kebun kopi.
1.Blok Kalicerme
2.Blok Sebubut
3.Blok Sepetek.