SEJARAH DESA NGAREANAK
Berdasarkan cerita tutur tinular yang berupa penggalan – penggalan sejarah yang diceritakan oleh para sesepuh desa, berhasil dirangkai sebuah rangkaian cerita sejarah terkait dengan asal muasal dan keberadaan Desa Ngareanak, dalam sebuah rangkaian bahasa tutur.
Sesungguhnya sejarah Desa Ngareanak tidak dapat dipisahkan dengan cerita babad tanah Kendal maupun sejarah perjuangan Nasional Indonesia karena di dalamnya memuat berbagai bentuk perlawanan rakyat terhadap keberadaan penjajah di Indonesia. Berdasarkan cerita yang dapat diperoleh dari sesepuh desa, Pemerintahan di Desa Ngareanak dimulai pada awal tahun 1900-an dan pada masa itu hidup seorang sakti bernama Ki Ageng Ngareanak.
Beliau adalah salah seorang pemimpin di wilayah ini yang dengan gigih memimpin santri dan masyarakat Ngareanak melawan Belanda. Kewibawaan beliau dikenal oleh masyarakat luas bahkan sampai ke wilayah Kedu karena kegigihan beliau memperjuangkan kemerdekaan masyarakatnya.
Pada suatu ketika, kakak beradik seperguruan Ki Ageng Lor meminta bantuan saudaranya Ki Ageng Kidul yang tinggal di Dusun Beron, Desa Banaran, Kecamatan Gemawang, Kabupaten Temanggung. Dalam perjalanan yang menempuh jarak cukup jauh, Ki Ageng Kidul beristirahat di tepi sebuah sungai. Dalam istirahatnya Ki Ageng Kidul memakan buah nangka, kemudian biji – bijinya ditanam di tepi sungai tersebut. Karena inilah, beliau selanjutnya diberi nama Ki Ageng Kalinongko. Setelah menyelesaikan permasalahannya, selanjutnya mereka melanjutkan perjalanan ke sebuah kampung/ Dusun bernama Kaliwesi.
Dalam kunjungannya ini, Ki Ageng Kalinongko mengetahui bahwa Ki Ageng Lor memiliki anak perempuan yang sangat cantik bernama Nyai Pare Anom, yang kecantikannya terkenal dimana-mana. Melihat kecantikan Nyai Pare Anom yang sangat mempesona, Ki Ageng Kalinongko berniat melamar anak perempuan Ki Ageng Lor untuk dijadikan sebagai menantu. Pada suatu hari, Ki Ageng Kalinongko mengirimkan utusan untuk menghadap kepada Ki Ageng Lor dalam rangka melamar putrinya. Karena putri tersebut belum berumah tangga, Ki Ageng Lor “ngareh – areh” (membujuk) anaknya agar mau dijodohkan dengan anak Ki Ageng Kalinongko. Akan tetapi karena belum ingin berumah tangga, sang putri menolak, karena khawatir keputusannya menyinggung dan melukai perasaan orang tua dan Ki Ageng Kalinongko yang merupakan Paman sendiri, akhirnya Nyai Pare Anom bunuh diri. Usaha Ki Ageng Lor dalam membujuk (jawa = Ngareh-areh) anak, kemudian oleh Ki Ageng Lor wilayah tersebut diberi nama “Ngareanak”. Sehingga dari tersohornya wilayah tersebut, maka oleh khalayak rame Ki Ageng Lor dikenal dengan sebutan Ki Ageng Ngareanak yang nama aslinya adalah Ki Ageng Purboyoso Kusumo.
Karena masalah pernikahan yang gagal itu, terjadilah pertempuran antara kedua kakak beradik seperguruan. Sebelum berperang, Ki Ageng Ngareanak berpesan kepada anak buahnya atau sahabatnya, agar apabila dalam peperangan itu keduanya mati sampyuh (=mati semua), maka jenazah yang terbujur ke Selatan dibawa ke Kalinongko sedangkan jenazah yang terbujur ke Utara di bawa ke Ngareanak. Pertempuran dahsyat tersebut terjadi di wilayah Kecamatan Gemawang. Kedua tokoh tersebut mati bersama (jawa=sampyuh) setelah keduanya mengalami luka yang sangat parah yang diakibatkan oleh kesaktian mereka sendiri. Kematian keduanya ditandai dengan muncrat/ memancarnya darah mereka sehingga daerah dimana kedua Ki Ageng ini meninggal sekarang ini bernama Desa Muncar. Sesuai pesan Ki ageng Ngareanak maka jenazah Ki Ageng Ngareanak yang membujur ke Selatan dibawa ke Desa Kalinongko, Kecamatan Gemawang (eks. Karesidenan Kedu). Sedangkan jenazah Ki Ageng Kalinongko di bawa ke Desa Ngareanak, karena ketika ditemukan jenazahnya membujur ke arah Utara.
Pertempuran tersebut terjadi pada malam hari. Dan pada pagi harinya barulah diketahui bahwa jenazah yang dibawa masing-masing prajurit ternyata keliru. Ternyata yang dibawa prajurit Kalinongko adalah jenazah Ki Ageng Ngareanak. Karena mengetahui yang dibawa adalah bukan jenazah Ki Ageng Kalinongko, maka jenazah Ki Ageng Ngareanak di makamkan di wilayah lain, yaitu Dusun Beron, Desa Banaran, Kecamatan Gemawang.
Begitu juga sebaliknya prajurit Ngareanak mengetahui bahwa ternyata yang dibawa adalah jenazah Ki Ageng Kalinongko. Sesampainya di Desa Ngareanak, jenazah Ki Ageng Kalinongko dibaringkan di atas batu tepi sungai. Melihat luka di tubuh beliau yang mrampang (arang kranjang) selanjutnya sungai tersebut diberi nama kali mrampang atau yang saat ini menjadi Kali Prompangan (di wilayah Dusun Kaliwesi, Desa Ngareanak). Namun ketika akan dimakamkan oleh para prajurit Ngareanak terjadilah keajaiban, ternyata jenazah Ki Ageng Kalinongko murca (=menghilang).
Sebelum terjadi pertempuran secara langsung antara kedua tokoh sakti ini, terjadi adu kesaktian yang dimiliki beliau. Ki Ageng Ngareanak memiliki kesaktian berupa kemayan penjelmaan Tikus yang bernama Tikus Jinodo. Sedangkan Ki Ageng Kalinongko memiliki kesaktian berupa kemayan penjelmaan burung Garuda. Keduanya beradu kesaktian, strategi dan kelicikan, setelah pertempuran berjalan sekian lama, karena merasa lelah, burung Garuda beristirahat dengan bertengger di atas pohon bambu Petung. Garuda tidak mengetahui bahwa tikus Jinodo masuk ke dalam bambu dengan melobangi ruas-ruas bambu petung tersebut dan setelah berhasil mencapai posisi dimana Garuda bertengger, sehingga tikus Jinodo berhasil membunuhnya. Kematian burung Garuda ini selanjutnya menjadi awal pertempuran secara langsung antara kedua tokoh sakti tersebut. Keberhasilan tikus Jinodo melobangi ruas – ruas bambu sampai saat ini masih dapat ditemui buktinya dengan masih diketemukannya bambu petung yang dalamnya tidak beruas dari atas sampai bawah di daerah kebun Kemantren wilayah Gemawang.
Dengan wafatnya Ki Ageng Ngareanak / Ki Purboyoso Kusumo, Desa Ngareanak mengalami kekosongan pimpinan pemerintahan. Kekosongan berlarut-larut dalam waktu yang cukup lama. Hal ini diketahui oleh Pemerintah Hindia Belanda yang bermarkas di daerah Rejowinangun atau Kalisat sehingga kemudian terjadi penunjukan / pemilihan kepala desa pertama yang dijabat oleh bapak Tjo Pawiro, sebagai Kepala Desa pertama. Pada masa pemerintahannya, beliau mengembangkan agama islam di Desa Ngareanak bersama sesepuh agama Islam yang bernama Mbah Kyai Ibrahim.
"pemdesngareanakmaju"